Terkadang
kenyataan itu seperti mimpi, bergerak begitu saja menjauh dari hal-hal yang
berbau nyata. Semua berlalu dengan tak kumengerti. Dan mimpi seringkali tampak
begitu nyata. Saat tanganku seakan masih bisa menyentuh pipimu, lalu aku terbangun
dan sadar bahwa sinar-sinar yang mengendap masuk melalui celah kelambu tertawa
melihatku tersenyum dalam tidur, ngelindur. Ia bangunkanku, mengajakku menari
dalam dunia nyata yang bagiku tampak semu.
Sekeras apapun
aku berusaha untuk menjadi jiwa yang ikhlas dan rela, sekeras itu pula hatiku
memberontak. Hidup tidak semudah omongan para motivator. Kadang aku merasa
mereka percuma menjual omongan karena pada nyatanya aku tetap saja patah walau
sudah berulang kali berusaha berpikir sepositif yang mereka contohkan.
Seperti sebesar
usahaku melenyapkan kenangan dan senyata kebodohanku pada kenyataan bahwa
kenangan memang tak pernah bisa dihapus. Aku mengakui aku patah, aku remuk,
hatiku porakporanda.
Senyum yang
kurindu terbentuk dari gurat bibirmu, kata-kata sederhana yang menyentuh hati,
suara yang terdengar bak alunan lagu merdu di telingaku, semuanya sirna. Sama
persis dengan mimpiku malam tadi, saat aku menyentuh pipimu lalu seberkas sinar
mentari membangunkanku.
Aku menghela nafas berat. Mengingat momen-momen kebersamaan yang sudah luntur. Siapa kira kata-katamu yang tak pernah mengandung gombalan itu ternyata hanya tong kosong berbunyi nyaring. Tak ada buktinya. Mungkin kamu hanya menyukaiku, karena kamu mengungkapkannya bukan membuktikannya seperti bila cinta yang mendera.
Mungkin kamu tak pernah merasa betapa remuk redamnya hatiku saat tahu semua itu. Hal yang sama sekali tak pernah terpikir olehku. Kamu dan sahabatku, dua orang yang sangat berarti yang tak mungkin kusakiti, tetapi pada nyatanya justru aku yang tersakiti.
Cinta, tinggal kata ampas yang tak lagi memiliki makna lebih. Aku kehilangan manisnya senyummu, karena kini senyum itu hambar di hatiku. Aku kehilangan merdu suaramu, karena di telingaku hanya ada petir saat kau bersuara di depanku. Aku kehilangan sesuatu yang membuatku mampu hidup dengan berdiri tegak.
Sekalipun maaf telah kau ucap, namun pernahkah kau pikirkan tentang hatiku yang sudah terlanjur terluka. Sakit itu sudah menganga. Luka itu teramat dalam hingga darah pun tak lagi tampak. Bila aku tampak baik-baik saja tanpa air mata, bukan karena sikapmu tak menyakitiku. Jauh, jauh, dan jauh lebih dari sekedar menyakiti. Luka ini membuatku mati rasa.
#Np : Dewi Sandra ~Mati Rasa~
Inspirated by
@ekaaDL
Written by
@ernykurkur
http://ernykurnia.blogspot.com/2012/05/mati-rasa.html
nice story :)
BalasHapus